Jin

My photo
"يا الله، اكو مموهون كڤد-مو اونتوق منچينتاي-مو، منچينتاي سياڤا سهاج يڠ منچينتاي-مو، سرتا منچينتاي ڤربواتن يڠ مڠهانتركن داكو اونتوق منچينتاي-مو."- نبي داود اس

Qurban: Antara Islam dan Bani Israil

Thursday, December 3, 2009

Assalaamu’alaikum wr. wb.

Setiap kali Hari Raya Aidil Adha menjelang, aku terdengar sayup-sayup pendebatan tentang putra Nabi Ibrahim as yang diperintahkan Allah SWT untuk disembelihkan. Adakah Nabi Isma’il as atau Nabi Ishaq as? Meskipun hanya sayup-sayup, namun tsu perdebatan ini juga menimbulkan rasa was-was dalam hati sebahagian kaum Muslimin. Memang “was-was” itu sendiri adalah serapan dari sebuah kata dalam bahasa Arab yang menggambarkan suara halus yang terdengar dalam jiwa dan membuatnya resah.

Kenapa perlu ada yang mengungkit-ungkit lagi masalah yang sebenarnya sudah bulat disepakati oleh para ulama? Hanya dengan alasan bahwa Al-Qur’an tidak secara tegas menyatakan siapa putra Nabi Ibrahim as. yang dimaksud itu. Bagi mereka, Al-Qur’an memang ‘serba tidak jelas, tidak tegas mengharamkan rokok, tidak tegas melarang homoseksualitas, dan seterusnya'. Herannya, mereka tak pernah mengangkat kajian tentang hukum menikah dengan anjing, padahal urusan yang satu ini juga tidak pernah secara eksplisit diharamkan di dalam Al-Qur’an. Tentu saja, bagi umat Muslim yang berakal sihat, tentu mereka tak mengharapkan segala sesuatunya akan dibahas secara eksplisit di dalam Al-Qur’an. Kalau tak, dah tentu Al-Qur’an akan diturunkan hingga berjilid-jilid, lebih tebal dari ensiklopedia mana pun!

Pengalaman mengajarkan kita untuk menyinkapi setiap perdebatan tajam di kalangan umat mengenai masalah yang nampak dibuat-buat seperti ini dengan mengajukan sebuah pertanyaan: siapa yang memulainya?

Kalau kita terus melihat persoalan, kita akan memahami bahwa seorang Muslim sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan siapa yang akan disembelih. Baik Nabi Isma’il as. maupun Nabi Ishaq as. adalah sama-sama Rasul yang terpuji dan kita cintai dengan kecintaan yang sama, meskipun keterangan tentang keduanya sangat terbatas. Umat Muslim yakin bahwa yang akan disembelih adalah Nabi Isma’il as., bukan Nabi Ishaq as., ini kerana adanya bukti-bukti yang kuat. Satu diantaranya yang paling mudah untuk difahami adalah bahwa ibadah qurban itu sendiri pada jaman Rasulullah saw. telah dirayakan oleh penduduk Mekkah, dan bukan oleh kalangan Ahli Kitab yang hidup di sekitar wilayah Al-Quds. Karena Nabi Isma’il as. adalah penduduk kota Mekkah, dan bukannya Nabi Ishaq as., maka patut kita mempercayai bahwa peristiwa qurban ini memang berkaitan dengan diri beliau (Nabi Isma'il as).

Dengan apa yang kita lihat, kalangan Nasrani dan Yahudi jelas tidak menjadikan peristiwa penyembelihan itu sebagai tonggak awal disyariatkannya suatu ibadah, melainkan sebagai alat doktrinasi khusus. Di masa lampau, kaum orientalis Barat biasa menyebut ajaran Islam sebagai “Mohammedanism” (kerana bagi mereka Nabi Muhammad saw.-lah yang merumuskan seluruh ajaran Islam), bahkan “Hagarism” (“Hagar” adalah sebutan mereka untuk Hajar, istri Nabi Ibrahim as. yang melahirkan Nabi Isma’il as.). Sebutan yang terakhir ini sebenarnya dimaksudkan sebagai olok-olok. Dalam pandangan Ahli Kitab, keturunan Hajar memang lebih hina daripada keturunan Sarah (ibunda Nabi Ishaq as.). Sebab, Hajar dulunya adalah seorang budak. Maka di mata mereka, Islam adalah agama yang rendah, karena merupakan agamanya bangsa keturunan budak. Sebaliknya, Bani Israil merasa dirinya lebih mulia karena berasal dari keturunan seorang perempuan yang merdeka.

Bagi kaum Bani Israil (yang kemudian melahirkan agama Nasrani dan Yahudi) ini, dgn terpilihan Nabi Ishaq as. (atau Isaac menurut mereka) mengandung makna strategis, sebab ia melambangkan keutamaan Bani Israil di antara bangsa-bangsa lainnya. Marilah sekali lagi kita cuba lihat betapa kontrasnya pandangan ini dengan perspektif umat Muslim. Dalam kacamata Islam, manusia menjadi lebih mulia daripada yang lain kerana ketaqwaannya, bukan karena ia keturunan dari seorang Nabi yang pada masa mudanya akan disembelih berdasarkan perintah Allah SWT. Keturunan Nabi Ishaq as. tidak menjadi tercela hanya karena bukan ia yang akan disembelih. Sebaliknya, keturunan Nabi Isma’il as. pun tidak semuanya mulia (contoh: Abu Lahab).

Buya Hamka atau nama sebenarnya Hj. Abdul Malik Karim Amrullah seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau sudah sejak lama menjelaskan agar umat Muslim tidak mencontoh kebongkakkan Bani Israil. Menurut beliau, nama “Nasrani” dan “Yahudi” pun sudah jelas nampak kesombongannya. Nama “Nasrani” terambil dari nama “Nashirah” (Nazareth), iaitu nama tempat kelahiran Nabi ‘Isa as. Oleh karena itu, “Nasrani” adalah nama agama-bangsa. Adapun nama “Yahudi” konon terambil dari nama Yehuda, yaitu salah seorang anak Nabi Ya’qub as., dan karenanya, Yahudi dianggap sebagai nama agama-keluarga. Sampai sekarang pun, realitinya, masih terjadi ketidakadilan rasialis di kalangan umat Yahudi, karena penganut agama Yahudi yang berkulit hitam dari Afrika terus direndahkan oleh umat Yahudi yang lainnya. Sebab, dalam pandangan mereka, orang-orang Afrika bukanlah berasal dari garis keturunan Nabi Ya’qub as.

Sebaliknya, Islam tidak mengambil namanya dari wilayah asalnya, sehingga ia tidak disebut sebagai agama ‘Arabiyyah atau Makkiyyah, contohnya. Ia tidak juga disebut sebagai agama Mohammedanism, kecuali oleh kalangan orientalis saja. Sejak awal Islam sudah dikenal sebagai Islam; yang tidak membezakan antara keturunan Ethiopia dengan keturunan Romawi. Jika sudah mengucap syahadah, maka ukuran yang membezakannya hanyalah ketaqwaan, lainnya tidak. Buya Hamka berpesan agar Islam jangan sampai diarahkan untuk menjadi agama bagi bangsa atau penduduk wilayah tertentu saja, melainkan sebagai ajaran lurus yang memberi petunjuk kepada seluruh anak-cucu Nabi ‘Adam as.

Setiap kali merayakan Aidil Adha, umat Muslim menjadikan kisah penyembelihan putra Nabi Ibrahim as. sebagai cermin bagi dirinya masing-masing. Tak habis-habisnya hikmah digali dari kisah itu, dan tak lelah-lelahnya ulama menceritakannya kembali. Semua orang diseru untuk menyembelih haiwan sebagai bentuk dari usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kita memuji Nabi Ibrahim as. dan Nabi Isma’il as., tanpa pernah sekali pun merendahkan Nabi Ishaq as. atau pun para Nabi lainnya. Kita memandang peristiwa penyembelihan tersebut dengan cara yang sama sekali berbeza, dan menyikapinya juga dengan cara yang sama sekali berlainan dengan yang telah dilakukan oleh umat Nasrani dan Yahudi. Kita tidak menyembah apa yang mereka sembah, dan kita tidak beribadah dengan cara sebagaimana mereka beribadah. Inilah agama kita, dan demikianlah agama mereka. Islam itu mudah dan tiada paksaan...

wassalaamu’alaikum wr. wb.

0 comments:

Post a Comment